Apa jadinya bila seorang pemuda sholeh digoda oleh wanita cantik?
Kepada para pelaku pornografi dan pornoaksi, bisa mengambil hikmah dari
kisah ini. Kecantikan dan keindahan tubuh adalah ujian. Kisah ini pun
bisa menjadi inspirasi bagi da’i dalam berdakwah. Bahwa berda’wah itu
harus lemah lembut, bukan dengan kekerasan ataupun caci maki kepada
pelakunya. Karena hati, hanya bisa disentuh oleh hati. Selamat membaca.
semoga memberikan pencerahan bagi kita semua.
Rabi’ bin Khaitsam
adalah seorang pemuda yang terkenal ahli ibadah dan tidak mau mendekati
tempat maksiat sedikit pun. Jika berjalan pandangannya teduh tertunduk.
Meskipun masih muda, kesungguhan Rabi’ dalam beribadah telah diakui oleh
banyak ulama dan ditulis dalam banyak kitab. Imam Abdurrahman bin Ajlan
meriwayatkan bahwa Rabi’ bin Khaitsam pernah shalat tahajjud dengan
membaca surat Al Jatsiyah. Ketika sampai pada ayat keduapuluh satu, ia
menangis. Ayat itu artinya, “Apakah orang-orang yang membuat
kejahatan (dosa) itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka sama
dengan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh, yaitu
sama antara kehidupan dan kematian mereka. Amat buruklah apa yang mereka
sangka itu!”
Seluruh jiwa Rabi’ larut dalam penghayatan ayat
itu. Kehidupan dan kematian orang berbuat maksiat dengan orang yang
mengerjakan amal shaleh itu tidak sama! Rabi’ terus menangis sesenggukan
dalam shalatnya. Ia mengulang-ngulang ayat itu sampai terbit fajar.
Kesalehan
Rabi’ sering dijadikan teladan. Ibu-ibu dan orang tua sering menjadikan
Rabi’ sebagai profil pemuda alim yang harus dicontoh oleh anak-anak
mereka. Memang selain ahli ibadah, Rabi’ juga ramah. Wajahnya tenang dan
murah senyum kepada sesama.
Namun tidak semua orang suka dengan
Rabi’. Ada sekelompok orang ahli maksiat yang tidak suka dengan
kezuhudan Rabi’. Sekelompok orang itu ingin menghancurkan Rabi’. Mereka
ingin mempermalukan Rabi’ dalam lembah kenistaan. Mereka tidak menempuh
jalur kekerasan, tapi dengan cara yang halus dan licik. Ada lagi
sekelompok orang yang ingin menguji sampai sejauh mana ketangguhan iman
Rabi’.
Dua kelompok orang itu bersekutu. Mereka menyewa seorang
wanita yang sangat cantik rupanya. Warna kulit dan bentuk tubuhnya
mempesona. Mereka memerintahkan wanita itu untuk menggoda Rabi’ agar
bisa jatuh dalam lembah kenistaan. Jika wanita cantik itu bisa
menaklukkan Rabi’, maka ia akan mendapatkan upah yang sangat tinggi,
sampai seribu dirham. Wanita itu begitu bersemangat dan yakin akan bisa
membuat Rabi’ takluk pada pesona kecantikannya.
Tatkala malam
datang, rencana jahat itu benar-benar dilaksanakan. Wanita itu berdandan
sesempurna mungkin. Bulu-bulu matanya dibuat sedemikian lentiknya.
Bibirnya merah basah. Ia memilih pakaian sutera yang terindah dan
memakai wewangian yang merangsang. Setelah dirasa siap, ia mendatangi
rumah Rabi’ bin Khaitsam. Ia duduk di depan pintu rumah menunggu Rabi’
bin Khaitsam datang dari masjid.
Suasana begitu sepi dan lenggang.
Tak lama kemudian Rabi’ datang. Wanita itu sudah siap dengan tipu
dayanya. Mula-mula ia menutupi wajahnya dan keindahan pakaiannya dengan
kain hitam. Ia menyapa Rabi’,
“Assalaamu’alaikum, apakah Anda punya setetes air penawar dahaga?”
“Wa’alaikumussalam. Insya Allah ada. Tunggu sebentar.” Jawab Rabi’ tenang sambil membuka pintu rumahnya. Ia lalu bergegas ke belakang mengambil air. Sejurus kemudian ia telah kembali dengan membawa secangkir air dan memberikannya pada wanita bercadar hitam.
“Bolehkah aku masuk dan duduk sebentar untuk minum. Aku tak terbiasa minum dengan berdiri.” Kata wanita itu sambil memegang cangkir.
“Assalaamu’alaikum, apakah Anda punya setetes air penawar dahaga?”
“Wa’alaikumussalam. Insya Allah ada. Tunggu sebentar.” Jawab Rabi’ tenang sambil membuka pintu rumahnya. Ia lalu bergegas ke belakang mengambil air. Sejurus kemudian ia telah kembali dengan membawa secangkir air dan memberikannya pada wanita bercadar hitam.
“Bolehkah aku masuk dan duduk sebentar untuk minum. Aku tak terbiasa minum dengan berdiri.” Kata wanita itu sambil memegang cangkir.
Rabi’
agak ragu, namun mempersilahkan juga setelah membuka jendela dan pintu
lebar-lebar. Wanita itu lalu duduk dan minum. Usai minum wanita itu
berdiri. Ia beranjak ke pintu dan menutup pintu. Sambil menyandarkan
tubuhnya ke daun pintu ia membuka cadar dan kain hitam yang menutupi
tubuhnya. Ia lalu merayu Rabi’ dengan kecantikannya.
Rabi’ bin Khaitsam terkejut, namun itu tak berlangsung lama. Dengan tenang dan suara berwibawa ia berkata kepada wanita itu,
“Wahai saudari, Allah berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya.” Allah yang Maha pemurah telah menciptakan dirimu dalam bentuk yang terbaik. Apakah setelah itu kau ingin Dia melemparkanmu ke tempat yang paling rendah dan hina, yaitu neraka?!
“Wahai saudari, Allah berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya.” Allah yang Maha pemurah telah menciptakan dirimu dalam bentuk yang terbaik. Apakah setelah itu kau ingin Dia melemparkanmu ke tempat yang paling rendah dan hina, yaitu neraka?!
“Saudariku, seandainya saat
ini Allah menurunkan penyakit kusta padamu. Kulit dan tubuhmu penuh
borok busuk. Kecantikanmu hilang. Orang-orang jijik melihatmu. Apakah
kau juga masih berani bertingkah seperti ini ?!
“Saudariku,
seandainya saat ini malaikat maut datang menjemputmu, apakah kau sudah
siap? Apakah kau rela pada dirimu sendiri menghadap Allah dengan
keadaanmu seperti ini? Apa yang akan kau katakan kepada malakaikat
munkar dan nakir di kubur? Apakah kau yakin kau bisa
mempertanggungjawabkan apa yang kau lakukan saat ini pada Allah di
padang mahsyar kelak?!”
Suara Rabi’ yang mengalir di relung jiwa
yang penuh cahaya iman itu menembus hati dan nurani wanita itu.
Mendengar perkataan Rabi’ mukanya menjadi pucat pasi. Tubuhnya bergetar
hebat. Air matanya meleleh. Ia langsung memakai kembali kain hitam dan
cadarnya. Lalu keluar dari rumah Rabi’ dipenuhi rasa takut kepada Allah
swt. Perkataan Rabi’ itu terus terngiang di telinganya dan menggedor
dinding batinnya, sampai akhirnya jatuh pingsan di tengah jalan. Sejak
itu ia bertobat dan berubah menjadi wanita ahli ibadah.
Orang-orang yang hendak memfitnah dan mempermalukan Rabi’ kaget mendengar wanita itu bertobat. Mereka mengatakan,
“Malaikat apa yang menemani Rabi’. Kita ingin menyeret Rabi’ berbuat maksiat dengan wanita cantik itu, ternyata justru Rabi’ yang membuat wanita itu bertobat!”
“Malaikat apa yang menemani Rabi’. Kita ingin menyeret Rabi’ berbuat maksiat dengan wanita cantik itu, ternyata justru Rabi’ yang membuat wanita itu bertobat!”
Rasa takut kepada Allah yang tertancap dalam
hati wanita itu sedemikian dahsyatnya. Berbulan-bulan ia terus
beribadah dan mengiba ampunan dan belas kasih Allah swt. Ia tidak
memikirkan apa-apa kecuali nasibnya di akhirat. Ia terus shalat,
bertasbih, berzikir dan puasa. Hingga akhirnya wanita itu wafat dalam
keadaan sujud menghadap kiblat. Tubuhnya kurus kering kerontang seperti
batang korma terbakar di tengah padang pasir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar