Selasa, 18 Desember 2012
Minggu, 09 Desember 2012
Enam Sifat Wanita yang Tak Pantas Dijadikan Istri
Perlu kita ketahui bagaimana Perempuan yang Tak pantas untuk di
jadikan istri, Sebelum kita Menuju Keluarga yang bahagia .. Langsung
saja, Berikut Sifat-Sifat Buruknya:
1. Al -Anaanah ...
Banyak keluh kesah. Yg selalu merasa tak cukup, apa yg diberi semua tak cukup. diberi rumah tak cukup, diberi moto
r tak cukup, diberi mobil tak cukup, dll. Tak redha dg pembelaan dan aturan yg diberi suami. Asyik ingin memenuhi kehendak nafsu dia saja, tanpa memperhatikan perasaan suami, tak hormat kepada suami apalagi berterima kasih pada suami. Bukannya hendak menolong suami, apa yg suami beri pun tak pernah puas. Ada saja yg tak cukup.
2. Al-Manaanah ...
Suka mengungkit. Kalau suami melakukan hal yg dia tak berkenan maka diungkitlah segala hal tentang suaminya itu. sangat senang hendak membicarakan suami: tak ingat budi, tak bertanggungjawab, tak sayang dan macam-macam. Padahal suami sudah memberi perlindungan macam2 padanya.
3. Al-Hunaanah ...
Ingin pada suami yg lain atau berkenan kpd lelaki yg lain. sangat suka membanding-bandingkan suaminya dg suami/lelaki lain. Tak redha dg suami yg ada.
4. Al- Hudaaqah ...
Suka memaksa. Bila hendak sesuatu maka dipaksa suaminya melakukan. Pagi, petang malam asyik menekan dan memaksa suami. Adakalanya dg berbagai ancaman: ingin lari, ingin bunuh diri, ingin membuat malu suami, dll. Suami dibuat seperti budaknya, bukan sebagai pemimpinnya. Yg dipentingkan adalah kehendak dan kepentingan dia saja.
5. Al -Hulaaqah ...
Sibuk bersolek atau tidur atau santai2 dll hingga lalai dg ibadah-ibadah wajib dan sunnah, seperti sholat, wirid zikir, mengurus rumah-tangga, berkasih sayang dg anak2, dll.
6. As-Salaaqah ...
Banyak berbicara, menggosip. Siang malam, pagi petang asik menggosip terus. Apa saja yg suami kerjakan selalu tidak benar dimatanya. Zaman sekarang ni bergosip bukan saja berbicara di depan suami, tapi dg telfon, SMS, internet, BBM dan macam2 cara yang lain . Yg jelas isteri tu asyik menyusahkan suami dg kata2nya yg menyakitkan.
1. Al -Anaanah ...
Banyak keluh kesah. Yg selalu merasa tak cukup, apa yg diberi semua tak cukup. diberi rumah tak cukup, diberi moto
r tak cukup, diberi mobil tak cukup, dll. Tak redha dg pembelaan dan aturan yg diberi suami. Asyik ingin memenuhi kehendak nafsu dia saja, tanpa memperhatikan perasaan suami, tak hormat kepada suami apalagi berterima kasih pada suami. Bukannya hendak menolong suami, apa yg suami beri pun tak pernah puas. Ada saja yg tak cukup.
2. Al-Manaanah ...
Suka mengungkit. Kalau suami melakukan hal yg dia tak berkenan maka diungkitlah segala hal tentang suaminya itu. sangat senang hendak membicarakan suami: tak ingat budi, tak bertanggungjawab, tak sayang dan macam-macam. Padahal suami sudah memberi perlindungan macam2 padanya.
3. Al-Hunaanah ...
Ingin pada suami yg lain atau berkenan kpd lelaki yg lain. sangat suka membanding-bandingkan suaminya dg suami/lelaki lain. Tak redha dg suami yg ada.
4. Al- Hudaaqah ...
Suka memaksa. Bila hendak sesuatu maka dipaksa suaminya melakukan. Pagi, petang malam asyik menekan dan memaksa suami. Adakalanya dg berbagai ancaman: ingin lari, ingin bunuh diri, ingin membuat malu suami, dll. Suami dibuat seperti budaknya, bukan sebagai pemimpinnya. Yg dipentingkan adalah kehendak dan kepentingan dia saja.
5. Al -Hulaaqah ...
Sibuk bersolek atau tidur atau santai2 dll hingga lalai dg ibadah-ibadah wajib dan sunnah, seperti sholat, wirid zikir, mengurus rumah-tangga, berkasih sayang dg anak2, dll.
6. As-Salaaqah ...
Banyak berbicara, menggosip. Siang malam, pagi petang asik menggosip terus. Apa saja yg suami kerjakan selalu tidak benar dimatanya. Zaman sekarang ni bergosip bukan saja berbicara di depan suami, tapi dg telfon, SMS, internet, BBM dan macam2 cara yang lain . Yg jelas isteri tu asyik menyusahkan suami dg kata2nya yg menyakitkan.
Rabu, 05 Desember 2012
Kisah untuk Para Pelaku Pornografi dan Pornoaksi
Apa jadinya bila seorang pemuda sholeh digoda oleh wanita cantik?
Kepada para pelaku pornografi dan pornoaksi, bisa mengambil hikmah dari
kisah ini. Kecantikan dan keindahan tubuh adalah ujian. Kisah ini pun
bisa menjadi inspirasi bagi da’i dalam berdakwah. Bahwa berda’wah itu
harus lemah lembut, bukan dengan kekerasan ataupun caci maki kepada
pelakunya. Karena hati, hanya bisa disentuh oleh hati. Selamat membaca.
semoga memberikan pencerahan bagi kita semua.
Rabi’ bin Khaitsam
adalah seorang pemuda yang terkenal ahli ibadah dan tidak mau mendekati
tempat maksiat sedikit pun. Jika berjalan pandangannya teduh tertunduk.
Meskipun masih muda, kesungguhan Rabi’ dalam beribadah telah diakui oleh
banyak ulama dan ditulis dalam banyak kitab. Imam Abdurrahman bin Ajlan
meriwayatkan bahwa Rabi’ bin Khaitsam pernah shalat tahajjud dengan
membaca surat Al Jatsiyah. Ketika sampai pada ayat keduapuluh satu, ia
menangis. Ayat itu artinya, “Apakah orang-orang yang membuat
kejahatan (dosa) itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka sama
dengan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh, yaitu
sama antara kehidupan dan kematian mereka. Amat buruklah apa yang mereka
sangka itu!”
Seluruh jiwa Rabi’ larut dalam penghayatan ayat
itu. Kehidupan dan kematian orang berbuat maksiat dengan orang yang
mengerjakan amal shaleh itu tidak sama! Rabi’ terus menangis sesenggukan
dalam shalatnya. Ia mengulang-ngulang ayat itu sampai terbit fajar.
Kesalehan
Rabi’ sering dijadikan teladan. Ibu-ibu dan orang tua sering menjadikan
Rabi’ sebagai profil pemuda alim yang harus dicontoh oleh anak-anak
mereka. Memang selain ahli ibadah, Rabi’ juga ramah. Wajahnya tenang dan
murah senyum kepada sesama.
Namun tidak semua orang suka dengan
Rabi’. Ada sekelompok orang ahli maksiat yang tidak suka dengan
kezuhudan Rabi’. Sekelompok orang itu ingin menghancurkan Rabi’. Mereka
ingin mempermalukan Rabi’ dalam lembah kenistaan. Mereka tidak menempuh
jalur kekerasan, tapi dengan cara yang halus dan licik. Ada lagi
sekelompok orang yang ingin menguji sampai sejauh mana ketangguhan iman
Rabi’.
Dua kelompok orang itu bersekutu. Mereka menyewa seorang
wanita yang sangat cantik rupanya. Warna kulit dan bentuk tubuhnya
mempesona. Mereka memerintahkan wanita itu untuk menggoda Rabi’ agar
bisa jatuh dalam lembah kenistaan. Jika wanita cantik itu bisa
menaklukkan Rabi’, maka ia akan mendapatkan upah yang sangat tinggi,
sampai seribu dirham. Wanita itu begitu bersemangat dan yakin akan bisa
membuat Rabi’ takluk pada pesona kecantikannya.
Tatkala malam
datang, rencana jahat itu benar-benar dilaksanakan. Wanita itu berdandan
sesempurna mungkin. Bulu-bulu matanya dibuat sedemikian lentiknya.
Bibirnya merah basah. Ia memilih pakaian sutera yang terindah dan
memakai wewangian yang merangsang. Setelah dirasa siap, ia mendatangi
rumah Rabi’ bin Khaitsam. Ia duduk di depan pintu rumah menunggu Rabi’
bin Khaitsam datang dari masjid.
Suasana begitu sepi dan lenggang.
Tak lama kemudian Rabi’ datang. Wanita itu sudah siap dengan tipu
dayanya. Mula-mula ia menutupi wajahnya dan keindahan pakaiannya dengan
kain hitam. Ia menyapa Rabi’,
“Assalaamu’alaikum, apakah Anda punya setetes air penawar dahaga?”
“Wa’alaikumussalam. Insya Allah ada. Tunggu sebentar.” Jawab Rabi’ tenang sambil membuka pintu rumahnya. Ia lalu bergegas ke belakang mengambil air. Sejurus kemudian ia telah kembali dengan membawa secangkir air dan memberikannya pada wanita bercadar hitam.
“Bolehkah aku masuk dan duduk sebentar untuk minum. Aku tak terbiasa minum dengan berdiri.” Kata wanita itu sambil memegang cangkir.
“Assalaamu’alaikum, apakah Anda punya setetes air penawar dahaga?”
“Wa’alaikumussalam. Insya Allah ada. Tunggu sebentar.” Jawab Rabi’ tenang sambil membuka pintu rumahnya. Ia lalu bergegas ke belakang mengambil air. Sejurus kemudian ia telah kembali dengan membawa secangkir air dan memberikannya pada wanita bercadar hitam.
“Bolehkah aku masuk dan duduk sebentar untuk minum. Aku tak terbiasa minum dengan berdiri.” Kata wanita itu sambil memegang cangkir.
Rabi’
agak ragu, namun mempersilahkan juga setelah membuka jendela dan pintu
lebar-lebar. Wanita itu lalu duduk dan minum. Usai minum wanita itu
berdiri. Ia beranjak ke pintu dan menutup pintu. Sambil menyandarkan
tubuhnya ke daun pintu ia membuka cadar dan kain hitam yang menutupi
tubuhnya. Ia lalu merayu Rabi’ dengan kecantikannya.
Rabi’ bin Khaitsam terkejut, namun itu tak berlangsung lama. Dengan tenang dan suara berwibawa ia berkata kepada wanita itu,
“Wahai saudari, Allah berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya.” Allah yang Maha pemurah telah menciptakan dirimu dalam bentuk yang terbaik. Apakah setelah itu kau ingin Dia melemparkanmu ke tempat yang paling rendah dan hina, yaitu neraka?!
“Wahai saudari, Allah berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya.” Allah yang Maha pemurah telah menciptakan dirimu dalam bentuk yang terbaik. Apakah setelah itu kau ingin Dia melemparkanmu ke tempat yang paling rendah dan hina, yaitu neraka?!
“Saudariku, seandainya saat
ini Allah menurunkan penyakit kusta padamu. Kulit dan tubuhmu penuh
borok busuk. Kecantikanmu hilang. Orang-orang jijik melihatmu. Apakah
kau juga masih berani bertingkah seperti ini ?!
“Saudariku,
seandainya saat ini malaikat maut datang menjemputmu, apakah kau sudah
siap? Apakah kau rela pada dirimu sendiri menghadap Allah dengan
keadaanmu seperti ini? Apa yang akan kau katakan kepada malakaikat
munkar dan nakir di kubur? Apakah kau yakin kau bisa
mempertanggungjawabkan apa yang kau lakukan saat ini pada Allah di
padang mahsyar kelak?!”
Suara Rabi’ yang mengalir di relung jiwa
yang penuh cahaya iman itu menembus hati dan nurani wanita itu.
Mendengar perkataan Rabi’ mukanya menjadi pucat pasi. Tubuhnya bergetar
hebat. Air matanya meleleh. Ia langsung memakai kembali kain hitam dan
cadarnya. Lalu keluar dari rumah Rabi’ dipenuhi rasa takut kepada Allah
swt. Perkataan Rabi’ itu terus terngiang di telinganya dan menggedor
dinding batinnya, sampai akhirnya jatuh pingsan di tengah jalan. Sejak
itu ia bertobat dan berubah menjadi wanita ahli ibadah.
Orang-orang yang hendak memfitnah dan mempermalukan Rabi’ kaget mendengar wanita itu bertobat. Mereka mengatakan,
“Malaikat apa yang menemani Rabi’. Kita ingin menyeret Rabi’ berbuat maksiat dengan wanita cantik itu, ternyata justru Rabi’ yang membuat wanita itu bertobat!”
“Malaikat apa yang menemani Rabi’. Kita ingin menyeret Rabi’ berbuat maksiat dengan wanita cantik itu, ternyata justru Rabi’ yang membuat wanita itu bertobat!”
Rasa takut kepada Allah yang tertancap dalam
hati wanita itu sedemikian dahsyatnya. Berbulan-bulan ia terus
beribadah dan mengiba ampunan dan belas kasih Allah swt. Ia tidak
memikirkan apa-apa kecuali nasibnya di akhirat. Ia terus shalat,
bertasbih, berzikir dan puasa. Hingga akhirnya wanita itu wafat dalam
keadaan sujud menghadap kiblat. Tubuhnya kurus kering kerontang seperti
batang korma terbakar di tengah padang pasir.
Para Pencuri Shalat

“Sungguh sejahat-jahatnya pencuri dari kalangan manusia adalah orang yang
mencuri shalatnya.” Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apa yang
dimaksud mencuri shalatnya?” Beliau Saw berkata, “Ia tidak
menyempurnakan rukuk dan sujudnya. Dan sungguh orang yang paling pelit
(kikir) adalah orang yang pelit mengucapkan salam. (HR. Thabrani & Hakim)
Shalat
adalah salah satu ibadah yang wajib dilakukan oleh muslim yang berakal
dan telah baligh. Semua Ulama baik salaf maupun khalaf sepakat akan
kewajiban shalat dan menghukuminya fardhu ‘ain, kewajiban yang
wajib dilakukan oleh tiap-tiap individu. Shalat termasuk rukun Islam
yang kedua dan wajib ditegakkan. Sebegitu wajibnya shalat sampai tidak
ada rukhsah (keringanan) untuk meninggalkannya bagi seorang
muslim. Kalau terlupa/tertidur kita wajib melaksanakan shalat ketika
ingat. Jika tidak ada air untuk berwudhu, kita dapat menggantinya dengan
tayamum. Menjaga shalat juga merupakan wasiat Rasulullah sebelum
meninggal dunia. “Jagalah shalat, jagalah shalat dan hamba sahayamu”
Pencuri Shalat
Di
era modern kini dan di tengah ketatnya persaingan dunia, baik dalam hal
bisnis, ekonomi, politik dan sosial budaya, semua orang menginginkan
hidup serba instan. Semua ingin dijalankan dengan cepat dan instan serta
mudah. Tak terkecuali dalam hal ibadah termasuk shalat. Dengan alasan
ingin mempersingkat dan mengefektifkan waktu, banyak muslim yang
tergesa-gesa dalam melaksanakan shalat. Hal ini telah diingatkan dengan
tegas oleh Rasulullah empat belas abad yang lalu dalam redaksi Thabrani
dan Hakim.
“Sungguh sejahat-jahatnya pencuri dari kalangan manusia adalah orang yang mencuri shalatnya.” Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apa yang dimaksud mencuri shalatnya?” Beliau Saw berkata,
“Ia tidak menyempurnakan rukuk dan sujudnya. Dan sungguh orang yang
paling pelit (kikir) adalah orang yang pelit mengucapkan salam.”
Rasulullah menyebutnya dengan istilah “pencuri yang paling jahat”
bagi muslim yang tidak menyempurnakan shalatnya. Tidak menyempurnakan
rukuk dan sujudnya. Kita sering marah ketika ada seseorang yang mencuri
sandal kita, terlebih lagi jika kita yang menjadi para pencuri shalat
karena tergesa-gesa dan tidak menyempurnakan shalat baik dalam rukuk,
sujud maupun salamnya.
Dalam redaksi Ahmad & ath-Thayalisi, Dari Abu Hurairah radhiallahu’ anhu berkata: “Kekasihku Rasulullah sallalloohu ‘alaihi wa sallam
melarangku bersujud dengan cepat seperti halnya ayam yang mematuk
makanan, menoleh-noleh seperti musang dan duduk seperti kera.” Dalam hal
ini dapat disimpulkan bahwasanya tergesa-gesa dalam melaksanakan shalat
adalah sebuah kesalahan dalam menjalankan shalat. Siapa saja yang
mencuri shalat, maka amal ibadahnya menjadi sia-sia di mata Allah. Lebih
dahsyat lagi, orang yang mencuri shalat dianggap tidak beragama, “Kamu
melihat orang ini, jika dia mati, maka matinya tidak termasuk mengikuti
agama Muhammad SAW, dia menyambar shalatnya seperti burung elang
menyambar daging.” (HR. Ibnu Huzaimah).
Seorang muslim harus
menjaga shalatnya, karena memang amal yang pertama kali dihisab di hari
kiamat adalah shalat. Untuk menghindari mencuri dalam shalat, kita perlu
mengetahui salah satu rukun dalam shalat yaitu Thuma’ninah.
dakwatuna.com - Thuma’ninah
adalah diam beberapa saat setelah tenangnya anggota-anggota badan. Para
Ulama memberi batasan minimal dengan lama waktu yang diperlukan seperti
ketika membaca tasbih (Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq: 1/124). Dalam
bahasa bebasnya, thuma’ninah dapat diartikan slow motion, pelan-pelan, dihayati, dipahami dan dinikmati.
Diriwayatkan,
ada seorang lelaki yang masuk ke dalam masjid di waktu Rasulullah SAW
sedang duduk. Lalu orang itu melaksanakan shalat. Setelah itu ia memberi
salam kepada Rasulullah SAW., tetapi Nabi menolaknya seraya bersabda, “Ulangi shalatmu, karena (sesungguhnya) kamu belum shalat!”
Kemudian
lelaki itu mengulangi shalatnya. Setelah itu ia datang dan memberi
salam kepada Rasulullah, tetapi Nabi SAW menolaknya sambil berkata, “Ulangilah shalatmu, (sebenarnya) kamu belum shalat!”
Laki-laki
itu pun mengulangi shalat untuk ketiga kalinya. Selesai shalat ia
kembali memberi salam kepada Nabi SAW. Tetapi lagi-lagi beliau
menolaknya, dan bersabda, “Ulangilah shalatmu, sebab kamu itu belum melakukan shalat!”
“Demi
Dzat yang telah mengutusmu dengan benar wahai Rasulullah, Inilah
shalatku yang terbaik. Sungguh, aku tak bisa melakukan lebih dari ini,
maka ajarkanlah shalat yang baik kepadaku,” tanya lelaki itu.
“Apabila
kamu berdiri (untuk melakukan) shalat, hendaklah dimulai dengan takbir,
lalu membaca ayat-ayat Al Qur’an yang engkau anggap paling mudah, lalu
rukuklah dengan tenang, kemudian beri’tidallah dengan tegak, lalu
sujudlah dengan tenang dan lakukanlah seperti ini pada shalatmu
semuanya.” (HR. Bukhari)
Rasulullah benar-benar memperhatikan
hal ini, sehingga dengan tegas meminta salah seorang sahabat mengulang
shalatnya hingga tiga kali karena meninggalkan ketenangan atau
thuma’ninah dalam shalat. Apabila meninggalkan thuma’ninah dalam shalat
berarti shalat menjadi tidak sah. Ini sungguh persoalan yang sangat
serius. Rasulullah bersabda, “Tidak sah shalat seseorang, sehingga ia
menegakkan (meluruskan) punggungnya ketika ruku’ dan sujud” (HR. Abu
Dawud: 1/ 533)
Semoga kita senantiasa memperbaiki shalat kita,
agar tujuan shalat yang tertuang dalam Al Qur’an surat Al-’Ankabuut ayat
45 benar-benar dapat terwujud. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji & mungkar. Wallahu a’lam bis showab. (*)
(Sumber: http://www.dakwatuna.com)
Langganan:
Postingan (Atom)